DIGOYANG KERESAHAN
Bulan dzul Qo’idah seperti saat ini terasa agak
tenang dari suara tabuh gendang dan riuh suara biduan dan penonton orkes. Beda
ketika memasuki bulan-bulan gawe seperti; Dzul Hijjah, Sofar, Maulud, Rajab
atau Sya’ban dimana saat-saat itu biasanya ramai sekali orang-orang punya hajat
menikahkan atau menyunatkan putranya. Masyarakat agaknya kecanduan dengan
dangdut yang mengasyikkan ketika musim punya gawe di sebagian daerah
berlangsung. Tidak puas sampai di acara hajatan, muncul juga fenomena sekelompok
pemuda yang di sebagian daerah dengan semangatnya iuran bersama mendatangkan
orkes yang kemudian diselenggarakan di tempat terbuka, baik untuk memeriahkan
suatu moment, seperti tahun baru, ataupun tanpa acara tertentu sekalipun.
Pada realitanya tontonan live panggung
ini banyak sekali mengundang keresahan secara langsung maupun untuk kemudian
bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat yang mendambakan ketentraman. Mulai
dari pakaian biduan dan goyangan yang ditampilkan tak jarang mengundang birahi
bagi siapa saja yang menyaksikan, atau minimal membuat risih sesame kaum hawa.
Ironisnya, tontonan ini menjadi suguhan tamu undangan di setiap pesta
pernikahan ataupun sunatan yang juga banyak ditonton oleh anak-anak yang belum
dewasa.
Kedua, lirik lagu yang dibawakan juga
banyak yang keluar dari nilai kesopanan, baik dalam teks yang tersurat ataupun
makna yang terkandung di dalamnya. Seperti contoh nyidam pentol, wedus, wedi
karo bojomu, belah duren, hamil duluan dan yang lainnya. Ketika banyak kali
di dengar, kemudian tak terasa masuk dalam fikiran, maka akan dengan mudah
sekali menjadi lagu santai mengasyikkan yang akan dinyanyikan dimanapun berada.
Bagaiamana tidak menyedihkan ketika lagu-lagu yang hidup di masyarakat adalah
lagu-lagu jorok tak mendik. Hal ini bisa kita saksikan ketika kita naik
kendaraan umum seperti Bus antarkota dalam provinsi misalnya, maka yang diputar
adalah musik-musik orkes (meski tidak semua). Yang dikhawatirkan adalah
lagu-lagu tersebut menjadikan persepsi salah kaprah masyarakat awam bahwa
hal-hal tabuh seperti perselingkuhan, kata-kata jorok, hamil pra nikah, menjadi
tidak tabuh lagi dan sah-sah saja dalam
pandangan mereka karena sudah biasa.
Ke tiga, minuman keras dan aksi brutal
penonton saat berlangsungnya pertunjukan orkes tak jarang berujung pada
pertumpahan darah bahkan kematian. Penjualan miras saat orkes berlangsung
seakan menjadi legal dan mudah saja meracuni para pemuda seiring tabuh gendang,
dan goyangan biduan. Ketika salah senggol dalam bergoyang, maka mudah sekali
emosi itu menguasai dan keributan kerusuhan tak terelakkan lagi. Tak jarang
menjadikan perang beruntun diantara tempat orkes yang satu ke tempat yang lain
karena adanya dendam. Dan yang parah adalah ketika dendam tersebut sampai
menyeret emosi warga dan menjadi perang antar kampung atau antar desa.
Hiburan merupakan kebutuhan bagi
keberlangsungan hidup yang sarat akan tugas dan tanggung jawab yang melelahkan.
Namun, tidaklah layak jika hiburan itu mendatangkan madlorot yang lebih besar
dan membahayakan dalam keberlangsungan hidup. Jika tayangan televisi yang
kurang mendidik di mata penonton mendapatkan kritik dan peringatan bahkan
pemberhentian tayang. Maka kiranya perlu juga adanya perhatian khusus terhadap
tontonan live panggung seperti orkes ini, baik dari fihak yang berwenang, tokoh
masyarakat, pemuda, kaum terpelajar dan masyarakat secara umum. Hal ini bisa
dimulai dengan pengetatan perijinan menyelenggaraan orkes, pembinaan dan
peringatan terhadap group orkes agar mengurangi ketidaksenonohan dalam
berpakaian, bergoyang ataupun lagu-lagu yang dibawakan.
Saatnya kita sadar bahwa mendatangkan orkes
sebagai hiburan bukanlah suatu kebanggaan yang mengangkat derajat kita.
Selayaknya hal itu dipandang sebagai sebuah penurutan terhadap hawa nafsu yang
mengundang bencana. Baik bencana fisik, moral, dan murka Tuhan Yang Maha Esa. Saatnya
kita sadar dan malu ketika do’a terpanjat untuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rohmah untuk kemantin baru, atau harapan menjadinya anak sholih
untuk ananda yang baru/akan dikhitan, namun do’a itu diikuti oleh kemungkaran
dan kemaksiatan. Saatnya kita lelah melihat polah bocah yang tak mudah
dikendalikan. Saatnya kita lelah dengan berbagai kerusuhan yang ditimbulkan
emosi yang enggan dimintai tanggung jawab. Saatnya kita takut akan murka Allah
yang kapan saja bisa diturunkan jika tidak mau menyadari kesalahan-kesalahan
dan dosa-dosa yang dengan bangga dan tanpa risih kita lakukan di muka bumi ni.
Komentar
Posting Komentar