SATU SISI
Kemungkaran politik semakin berkembang di bumi persada ini. Masyarkat yang dahulunya mendukung calon pemimpin atau partai idaman mereka, rela saling sikut dengan teman, tak pedulikan saudara dan tetangga. Namun ketika mereka dikhianati dengan praktik korupsi dan berbagai penyelewengan lain oleh wakil mereka yang dahulunya dibelanya mati-matian, kepedulianpun hilang. Sehingga bahasa yang muncul adalah, “kalaou gak kerja ya gak makan” sebagai pelampiasan kekecewaan atas pengorbanan mereka terdahulu.
Ketika keengganan masyarakat untuk memilih wakil rakyat semakin meluas, maka politik uang pun tak terelakkan lagi. Siapa yang membayar dialah yang dipilih, tanpa peduli lagi tentang siapa, dari mana dan bagaimana dia lagi, yang muncul gantian, “wani piro ?, loe tawar ane beli”. Satu suara dihargai mulai lembaran lima ribuan sampai lima puluhan, bahkan lembaran ratusan pun ikut berperan. Ketika hati pemilih sudah dirajai uang, ia akan menerima siapa saja yang datang membawa uang. Uang panas, uang suap dan nama-nama lainnya hanyalah sebutan yang berlalu, praktiknya, tetap digunakan dan ditasarufkan sesegar es marimas dikala terik di siang hari, semuanya segar tanpa ada beban. Soal pilihan, ada yang masih condong pada pilihan hatinya tanpa peduli dan sadar bahwa ia sedang menghianati pemberi dari golongan yang lain. Yang lebih merugikan, semua yang datang ia coblos tanpa peduli sah tidaknya kertas suara, hingga menambah angka kemubadziran biaya negara.
Pertanyaan yang muncul pun beraneka:
- Masih patutkan heran ketika rumah sakit jiwa dipenuhi caleg yang gagal ?
- Yang gila siapa ?
- Tambah berapa meterkah tinggi banjir tahun mendatang ?
- Gunung mana lagi yang akan meraung dan meletus ?
Dan, ini hanyalah satu sisi.
Komentar
Posting Komentar