Maulud
Suasana maulud
atau lebih tepatnya Rabiul Awwal sebagai bulan dimana Nabi Muhammad SAW
dilahirkan masih terasa. Peringatan menyambut kelahiran penutup para Nabi baru
saja dimeriahkan pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1436 kemaren dengan berbagai
kegiatan, baik pengajian, pembacaan al-Barzanji, adz-Dziba’i dan yang lainnya
sebagai bukti harapan ummat atas syafaat (pertolongan) yang telah
dijanjikan Nabi kepada para pengikutnya yang setia. Namun demikian, tidaklah
cukup hanya berkeras suara melantunkan sholawat dengan berbagai lagu dan cara
jika tidak dibarengi dengan keteladanan terhadap pribadi Nabi sebagai contoh
terbaik di muka bumi ini. Karena sesungguhnya Nabi Muhammad SAW tidak diutus ke
bumi kecuali untuk menyempurnakan akhlaq (al-Hadits). Maka mengenal sosok Nabi
Muhammad adalah sebuah keniscayaan. Bagaimana mungkin dapat meneladani jika
mengenalpun sudah tak sudi.
Figur besar
yang paling patut dicontoh dan diteladani adalah beliau baginda Nabi Muhammad
SAW. Akhlaq beliau adalah al-Qur’an. Jika ditanya bagaimana visualisasi
al-Qur’an maka kepada beliau dan para sahabatnyalah kita harus menengoknya.
Bagaimana Nabi sebagai pemimpin keluarga, bagaimana Nabi sebagai pemuka agama,
bagaimana Nabi sebagai kepala negara, bagaimana Nabi sebagai hamba, dan berbagai
posisi kehidupan lain yang diperankan Nabi patut kita contoh dan kita teladani.
Nabi
Muhammad SAW adalah sosok manusia yang luar biasa. Kemuliaannya diatas segala
mahkluq ciptaan Tuhannya. Mengikutinya dengan sesungguhnya akan menjadikan selamat
di dunia dan bahagia sejahtera di akhirat. Beliau dilahirkan dari nasab yang
baik yang selamat dari kejahatan zina. Dan dari keturunannya muncul para
penerus penegak agama hingga sekarang. Banyak sanjungan dan pujian yang
tersemat dalam diri beliau karena memang beliau patut dipuji dengan segala
kelebihannya baik fisik maupun akhlaqnya. Maka tidak heran dengan segala
kecintaan dan kerinduan banyak para ulama menyusun nadhom dan natsar
yang berisikan sejarah kehidupan beliau yang indah dengan segala pujiannya
sebagai bentuk rasa ta’dhim dan mengharapkan syafaat beliau terutama syafaah
al udhma besok di hari kiamat. Diantara yang kita kenal dan sering masyarakat
muslim Indonesia baca dan perdengarkan adalah al-Barzanji, ad-Dziba’I, Burdah,
Simtud Dhurur dan yang lainnya.
Meneladani Sifat Malu
As-Syaikh Ja’far
al-Barzanji telah menuturkan sifat-sifat mulia nan terpuji yang ada pada diri
Nabi. Diantara sifat yang harus diteladani oleh ummat yang mengharapkan syafaat
adalah pribadu pemalu. Malu yang benar adalah malu yang dilandaskan pada
ketaatan karena Allah. Malu karena diri jauh dari ketaatan kepada Allah
sedangkan Allah telah memberikan nikmat dan kasih sayang yang tak terhitung
oleh penikmatnya. Bukannya malu yang diukur dengan materi keduniaan, harta,
tahta ataupun setatus sosial.
Tak jarang
diantara kita malu saat merasa paling miskin atau tak beruang diantara
teman-teman, saudara atau tetangga yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan layak. Sehingga gengsi yang tinggi dan takut dihina manusia,
menjadikannya hilang sifat malu yang seharusnya ada yaitu malu kepada Allah.
Dengan segala cara, ditempuhnya jalan untuk mendapatkan kekayaan yang berlebih
dan melimpah tanpa memperdulikan lagi aturan-aturan yang ditetapkanNya dalam
memperoleh rizki yang halal lagi baik. Maka tiada lagi sungkan untuk menipu,
berlaku curang, mencuri, korupasi dan bahkan meminta bantuan syetan untuk
mendapatkan pesugihan.
Dan juga
banyak diantara kita mereka yang haus kekuasaan untuk memimpin dan menguasai
manusia lain, tanpa sadar bahwa kita adalah makhluq yang dicipta dikuasai oleh
Dzat Yang Mahakusa yang harus tunduk dan patuh kepada ajaran dan aturanNya.
Maka jalan apapun ditempuh untuk mendapatkan kursi kekuasaan tersebut. Tak
peduli dengan suap, kekerasan, penindasan
dan kedholiman lain yang diciptakan demi segenggam kekuasaan. Ia telah
dibutakan kemuliaan di mata manusia tanpa peduli lagi kehinaan di hadapan
Tuhannya yang dibuat dengan kendaraan nafsu. Dia tak lagi ingat bahwa kekuasaan
adalah amanah yang harus dijalankan dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Sehinga kekuasaan telah dikendalikan dengan kesemmena-menaan dan ketidakadilan.
Akhirnya yang terjadi adalah kerusakan demi kerusakan di muka bumi.
Rasa malu
itupun hilang dari hati anak-anak manusia yang dibesarkan orang tua dan guru
yang menyayangi dan mengasihinya. Rasa terimakasih yang berlandaskan akhlaq
terpuji kini seakan mahal kita temui. Penghormatan anak terhadap orang tua
hanya sebatas demi mendapatkan uang saku. Dan penghormatan siswa terhadap guru
hanya sebatas untuk mendapatkan nilai.
Mereka akan patuh jika akan mendapatkan nilai baik. Diantara mereka tak akan
segan membantah dan menentang jika merasa diperbudak meskipun maksud guru atau orang
tua adalah mendidik. Apalagi saat ketegasan dan kekerasan guru telah dibatasi
dan diancam dengan pelanggaran HAM, keberanian sebagian murid semakin meningkat
tinggi. Berbagai kasus pembunuhan anak terhadap orang tua yang ada di media
cukuplah menjadi bukti.
Begitupun
sebaliknya, sifat malupun mulai luntur pada sebagian orang-orang yang
seharusnya di gugu dan tiru (guru). Berbagai kasus pencabulan, kriminal,
dan tindak kekerasan oleh para guru terhadap muridnya yang seharusnya
dilindungi, dididik dan dikasihi menjadi korban jerat nafsu yang hinggap pada
seorang guru. Ini adalah sebagian contoh bagaimana sifat malu yang tidak bisa
membentengi diri dari perilaku yang mencerminkan bahwa kita adalah ummat yang
mengharapkan syafaat kepada Nabi yang mencontohkan untuk memunyai rasa malu.
Dengan
senantiasa memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi agung Muhammad SAW sebagai
bukti cinta dan kerinduan kita terhadap syafaatnya, sudah selayaknya kita
mencontoh berbagai budi baik yang ada pada diri nabi, meskipun tak akan mungkin
kita akan meniru persis bagaimana akhlaq nabi secara sempurna, namun menjadikan
Nabi sebagai suritauladan adalah sebuah keniscayaan. Alangkah lebih bijak jika
doktrin keberania dan kegigihan untuk menggapai cita dan tujuan diimbangi
dengan penanaman rasa malu yang pas dan benar. Hal ini tidak kalah penting
karena ketika keberanian telah menghantarkan pada pencapaian hasil yang
memuaskan, maka rasa malu yang tepat dan proporsional akan mengontrol sesorang
dari perilaku atau sikap yang memalukan.
Komentar
Posting Komentar